BEDUG PARAHYANGAN
Langit mengeluh. Tidur lelapnya terganggu suara bising molotovyang mendarat mulus diatas kantor milik Belanda. Kabut hitam mengepul. Darah segar berceceran. Menyibak bau anyir di hari yang belum benar-benar tergugah oleh fajar shodiq. Pohon mahoni yang berdiri kokoh disamping benteng bergeliat, menggugurkan daunnya ke permukaan tanah.
Manusia selalu begini. Serakah. Bisik mahoni dalamgelombang ultrasonik. Tak satupun mendengar kecuali kelelawar yang asyik terbang tanpa risih dengan kekalutan.
Kelelawar itu bertengger di ranting mahoni. menelungkupkan sayap. Bersiap menidurkan diri menyambut matahari menyembul dari peraduan. Mata nocturnalnya yang mulai buram, sayu merunut jejak seonggok tubuh tengah merangkak menjauhi benteng. Terseok-seok. Jatuh-bangun membawa luka yang menganga.
Help me ucap pemuda berseragam tentara kepada Laras, tepat sebelum ia roboh. Laras tak menjawab. Tak juga bergerak. Ia tertegun mendapati pemuda bersimbah darah menghampirinya. Tak jelas pula darimana datangnya.
Hidung mancung. Kulit putih, dan rahang tegasnya bukan milik pribumi. Dia penjajah! Laras membatin. Penjajah tak patut ditolong gumamnya. Laras berjalan menjauh.
Baru beberapa langkah, Laras kembali menengok pemuda yang sudah terkulai diantara dedaunan. Sanubarinya berbisik-bisik. Ramai oleh perdebatan iblis malaikat.
Kau harus menolongnya. Bukankah di pengajian selalu diajarkan untuk membalas keburukan dengan kebaikan?
Tinggalkan saja. Para penjajah itu telah membunuh kerabatmu. Dia pantas mati. Dia tak pantas ditolong.
Tidak ingatkah kau dengan Shalahuddin al Ayyubi? Dia panglima hebat, tapi diamenghentikan perang hanya karena musuhnya sakit dan bahkan mengobatinya hingga sembuh. Lalu mengapa kau harus menelantarkan orang yang butuh bantuan seperti dia?
Laras mematung beberapa detik. Rasa iba lalu mengalahkan kebenciannya. Ia terlanjur jatuh hati pada prinsip khoirunnas anfa`uhum linnas[1]. Laras percaya ia masih manusia dan bukan setan yang tak punya hati. Atas dasar prinsip itulah ia menolong si pemuda. Membawanya kegubuk kecil di desa. Gubuk tempat ia tinggal seorang diri.
13 tahun silam Laras tak sebatang kara. Ia mempunyai ibu dan Bapak. Ibu yang setiap hari memasakkan nasi tiwul untuknya dan bapak yang sering pergi ke sawah untuk membajak ataupun sekedar sambang. Laras hidup tenteram bersamamereka hingga suatu hari kawanan penjajah bertamu ke desa dengan membawa senjata, mendobrak rumah dari pintu ke pintu.
Tak jelas apa maksudnya. Para penjajah itu memang selalu tak jelas. Bertindak semaunya. Bahkan mereka juga menculik setiap wanita berwajah rupawan untuk menjadi pemuas nafsu keji semata. Tak peduli wanita itu telah berkeluarga ataupun masih gadis. Ibu laras adalah wanita cantik. Semasa muda beliau adalah kembang desa. Dan kecantikan itu sekarang menurun pada Laras. Kecantikan yang membuat ibunya dipaksa mengikuti si penjajah.
Malam itu Laras tak begitu paham dengan apa yang terjadi, ia masih bocah berumur 7 tahun. Ia hanya tahu itu seperti permainan perang-perangan. Seperti yang diceritakan ibunya menjelang tidur. Dalam cerita ibu, penjajah yang jadi tokoh antagonis selalu berhasil di usir, pergi membawa kekalahan. Namun kali ini Ibunya menjerit-jerit, bersikeras untuk tetap tinggal padahal penjajah ganas itu menarik lengan beliau dengan kasar. Bapaknya juga menarik lengan lain ibunya, memaksa untuk tetap tinggal.
Laras kecil tersudut di pojok ruang tamu sembari memandang nanar tanpa arti. Ia sungguh tak mengerti. Seharusnya penjajah itu kalah, tapi sejauh ini tidak ada tanda bahwa penajajah akan terusir pergi. Laras masih sibuk dengan pikirannya hingga akhirnya dua peluru bersemayam di dada bapaknya. Bapaknya berdarah-darah. Seperti pemuda yang kini diobatinya.
Laras membersihkan luka pemuda itu dengan kain basah. Mengolesinya dengan tumbukan daun pete. Hanya itu yang ia bisa. Kalau pemuda itu bangun pasti rasanya akan sangat perih. Tapi untung ia tertidur pulas; Dan ia memang belum sempat bangun semenjak Laras menemuinya di pinggir sungai.
….
Dia pasti sangat lelah. Bagaimana bisa ia tidur selama ini. Laras mengusap luka-luka si pemuda dengan kain lalu mengganti dengan tumbukan pete baru. Setelah itu dia kembali ke halaman belakang gubuknya. Tempat ia meruncingkan bambu dengan arit. Sudah berlusin bambu ia runcingkan. Katanya untuk jaga-jaga kalau ada penjajah datang ke desa lagi. Tentu saja bukan penjajah yang sekarang sedang tidur diatas bayangnya. Yang telak memaksa Laras tidur beralaskan kloso di tanah. Yang juga tak pernah ganti pakaian karena Laras tak punya banyak baju untuk dipinjamkan, maka jadilah pemuda itu berhari-hari berbalut baju tentara yang sarat bercak darah.
Detik melipat jam, jam melindas hari, hari bergulir minggu, dan minggu merangkai bulan. Laras tak menghitung berapa lama telah merawat pemuda itu, semenjak ia masih tidur anteng di atas bayang sampai kini telah bangun dan mampu berlari kecil-kecilan.
Di hari pertama pemuda itu bangun, ia mendapati Laras sibuk dengan ujung-ujung bambu. Ia hanya melihat sembari sesekali mengernyit karena luka yang belum kering itu menyisakan perih di sekujur tubuhnya.
Pemuda itu mematung. terkesima. Bukan dengan Laras, tapi dengan hamparan gunung yang membiru dibawah naungan lazuardi. Barisan ilalang yang menari-nari tertiup angin dan sungai kecil dengan dampingan pohon jambe. Nampak begitu indah. menentramkan. Seakan mereka -alam -, tak berkepentingan apapun, apalagi untuk saling membunuh.
Bedankt voor hulp[2]Pemuda itu berucap
Laras menoleh. Memandang datar.
evenzeer[3]timpalnya. Dia memang gadis desa. Tapi ia paham bahasa Belanda. Ibunya yang mengajari. Dulu sewaktu masih bocah. Di sela-sela bermain karet, disela-sela memasak, dan disela-sela ngaji. Tidak banyak. Hanya kata-kata umum. Tapi cukup untuk bercakap sehari-hari.
wat ben je aan het doen[4]? Pemuda itu duduk disamping Laras. Mengamati setiap gerakan laras lalu beralih ke tumpukan bambu runcing yang menggunung. Ia tak asing dengan benda semacam itu. ia memang bukan tentara yang ditugaskan di medan perang. Tapi ia sering melihat orang-orang pribumi datang ke sekitar kantor Belanda di Indonesia untuk melempar benda panjang runcing itu ke tentara yang berjaga.
Hanya runcing di ujung, tetapi ketika tepat mengenai dada dan tembus jantung ia sangatmematikan. Hanya runcing di ujung, tapi ampuh sekali untuk membuat tentara itu gentar. Memang hanya runcing di ujung, tapi ia menjadi andalan pribumi untuk mempertahankan ibu pertiwinya dan berperang dengan iringan Allahu Akbar. Benar-benarpusaka luar biasa.
Laras meletakkan arit dan bambunya.
Pergilah sesegera mungkin. Bambu runcing ini kusiapkan untukmu. Laras mengambil aritnya. Ia ingat benar bahwa ia benci penjajah. Dan pemuda yang disampingnya kini adalah salah satu dari mereka. Maka setelah urusan tolong menolong itu selesai, tak ada alasan lagi untuk tetap membiarkannya berkeliaran di sisi Laras.
Namun pemuda itu tak pergi. Ia malah dengan rela hati menyuruh Laras menancapkan bambu runcing di dadanya. Ia tidak menantang Laras. Ia hanya sedikit pasrah. Tapi siapa pula yang tega membunuh manusia. Terlebih Laras, menginjak semutpun ia tak tega apalagi membunuh manusia.
Jadilah Laras di sore itu hanya diam termangu. Laras tak tega membunuh dan tak bisa mengusir pemuda itu pergi. Sebagai gantinya pemuda itu curcol[5] kepada Laras. Mengatakan bahwa ia terpaksa datang ke jamrud khatulistiwa ini untuk mencari ayahnya, salah satu petinggi VOC yang telah lama tak kembali ke Belanda. Ia hanya ingin menyampaikan rindu ibunya kepada sang ayah. Ibu yang beberapa bulan lalu tidur dengan damai di sisi tuhannya. Dan jalannya adalah dengan menjadi tentara Belanda. Naas karena di suatu pagi itu ia malah menjadi korban bom fort de kock.
Itu hari pertama si pemuda -Louis-, beranjak dari bayang. Kini sebulan telah berlalu. Louis tak lagi bersama Laras, karena semenjak pertama ia bangun dan tak berhasil di usir, Laras menyuruhnya tinggal dirumah tetua yang awalnya menolak dengan keras. Tapi atas bujukan Laras, tetua itupun luluh.
Pepatah Jawa witing trisno jalaran soko kulino[6] tak sepenuhnya keliru. Laras, gadis yang teramat membenci penjajah itu nyatanya jatuh hati pada Louis, pemuda Belanda yang ditolongnya sebulan lalu. Sebabnya sederhana, ia terlalu sering bersama Louis karena memang ia perawatnya, ia terlalu sering mendengar cerita Louis, dan ia terlalu sering membuat persamaan antara dirinya dan Louis.
Begitupun Louis, siapa pula yang tak jatuh hati pada gadis yang telah berbaik hati menolongnya hingga sembuh. Siapa pula yang tak jatuh hati pada gadis yang dengan seksama mendengarkan setiap jengkal ceritanya.
Mereka sungguh saling jatuh hati tetapi hanya tersimpan rapi di sanubari. Murni dan tulus. Sebagaimana perasaan Ali kepada Fatimah yang bahkan setanpun tak tahu. Dan sebagaimana perasaan Fatimah kepada Ali yang rapat tertutup kepiawaian diri menyembunyikan hati.
….
Laras tetap benci penjajah. Tapi ia tak benci Louis. Karena baginya Louis bukan penjajah. Hingga suatu senja ketika bambu runcingnya dapat difungsikan, ia bersiap siaga. Dengan gesit melempar satu persatu bambu runcingnya ke kawanan yang dimatanya amat hina itu. tentu saja ia tak sendiri, sohib seperjuangan di desa turut serta.
Kali ini ceritanya berbeda dengan kisah 13 tahun silam, cerita ibunya sungguh jadi kenyataan. Laras dan pribumi dengan bambu runcing yang hanya lancip di ujung itu mampu mengusir penjajah dan memaksa mereka pulang dengan kekalahan.
Bedug ditabuh atas kemenangan telak. menggembirakan. Terutama bagi Laras yang telah sekian lama mempersiapkan bambu runcingnya. Bedug masih ditabuh, tepat ketika Laras mendapati Louis kembali bersimbah darah. Seperti pertama kali ia berjumpa. Dari dadanya mengalir darah segar, bekas peluru tembakan. Sepertinyaia ditembak karena dianggap penghianat oleh tentara Belanda.
Louis telah bersemayam. Akhirnya sekat antara hati Louis dan Laras benar-benar tercipta. Semasa hidup hanya karena beda agama tapi sekarang lebih sakral lagi, beda dunia.
[1] Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama
[2] Terimakasih telah membantu
[3] Sama-sama
[4] Apa yang sedang kau lakukan (dutch)
[5] Curhat colongan
[6] Cinta tumbuh dari kebiasaan
=================
Oleh: Oestafie Ahmad
31 Maret 2016