“Onty, nggak pengen kayak gitu? “.
You are so kampret bocah.Keponakanku kelas tiga SD nyeletuk dengan tampang sok imutnya yang tanpa dosa. Ketika ada sepasang tamu pengantin baru yang main ke rumah ketika libur pesantren beberapa waktu lalu. Dan tak lain couple tersebut adalah temanku
Aku menjitak kepalanya dengan asal. Bisa ditebak iapun menangis lapor ke induknya. Nggak tau tu bocah, kalau tantenya yang cantik jelita ini emang juga mendambakan membangun keluarga dan menghasilkan anak-anak yang lucu ngalahin dia.
“Mbak Afrida gimana kabarnya?” sang pengantin baru cewek mendekat menyalamiku.
“Oh, Alhamdulillah baik, makin cantik aja ya, kamu” balasku disertai dengan senyuman termanis yang ku punya. Tadinya baik, tapi setelah ketemu kamu nyesek hati ini. ini ungkapan jujur dalam hatiku sebenarnya. Jangan tanya kapan nyusul. Plis!
“Ah, si Mbak, bisa aja. Jadi kapan nih nyusul?” Et dah. Baru juga diomongin.
Selamat kamu orang ke 1571 yang melontarkan pertanyaan itu, persis dengan jumlah sisa pulsaku.
“Eh hehe kapan ya enaknya? Nunggu entar deh kalau Indonesia jadi juara sepak bola dunia” jawabku asal.
“Wah! Mbak, masih lama dong, atau jangan-jangan malah nggak kesampaian. Ati-ati lo Mbak ya”
Katanya sambil lalu bergabung dengan suaminya di ruang tamu. Eh horor deh kalau malaikat bener-bener nyatet ucapanku tadi. Ampun Kat, cuma becanda kok. Jangan masukkin dalam hati yah. *Sambil kedip-kedipin dua mata.
Ernita. Gadis cantik yang baru satu bulan menikah itu adalah adik kelasku jauh. Setahun lulus SMA dan sekarang semester tiga di salah satu Perguruan Tinggi swasta. Diusianya yang belum menginjak dua puluh tahun, tepatnya ketika umurnya delapan belas, ia telah dipinang salah satu teman kuliahnya. Tidak seumuran memang, yang cowok sendiri berusia hampir tiga puluh tahun, kuliahnya terlambat. Soal materi jangan tanya… Berkecukupan amat sangat. Ditunjang memiliki tampang ala cover boy.keluarga yang bahagia kan? Sepertinya. Sebelum aku mengetahui kisah selanjutnya.
######
“Ulangi lagi ya?”
Aku menunduk takzim. Entah sudah berapa kali aku mengaji di surat, ayat dan halaman yang sama , belum nambah-nambah lagi murojaahku. Lebih dari lima kali aku murojaah ayat-ayat tersebut. Lima halaman jus delapan belum lancar juga aku menyetor.
Padahal sebelumnya, ketika aku mengaji sendiri, tak ada hambatan,. Ketika ditashihkan teman pun juga sama, lancar segalanaya. Tapi, kenapa ketika aku menyertorkan ke Bunyaiku seolah-olah apa yang telah ku hafal tersebut berlari-lari entah kemana?
Maka ketika aku masuk kamar kecil yang dihuni kurang dari dua puluh santri, langsung saja air mata jatuh tak terbendung lagi.
“Ya Allah, apa salah hamba? mengapa begitu susah sekali hamba untuk menyimpan ayat-ayatmu?Apakah diri ini tak pantas? apa engkau tak rela jika kalamMu yang suci tersimpan dalam diri yang penuh dosa ini?
Seketika bayang-bayang kenangan berebutan menari-nari di memori ingatan.
“Siapa dia? Anak mana? Lebih baik Abah nikahkan sekalian kamu,dari pada terus-terusan menumpuk dosa. Apa kamu lupa dengan yang diajarkan dalam Al-Qur’an? dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk ”.
“Mendekati saja tidak boleh, apalagi melakukan. Nak! Ketahuilah zina itu menghimpun segala jenis keburukan. Si pezina akan mendapat murka dari Allah, karena dia merusak kehormatan dirinya sendiri dan keluarganya. Hati pezina itu pekat dan cahanya menjadi sirna, yang berarti cahaya wajahnya juga sirna karena ditutup kegelapan. Orang-orang seperti ini kedudukannya sangat rendah di mata Allah dan hamba-hambanya. Abah tidak ingin kamu menjadi salah satunya.”
Aku hanya diam mematung tak menjawab. Sesuatu yang terasa sedikit asin dan hangat meresap ke dalam mulut. Air mata mengalir di atas pipi yang membeku. Aku merasakan jejak air mata yang meleleh dan menjadi dingin. Tak lama rasa sesal itu hanya mampir sebentar saja. Nasehat tersebut tergeletak di kertas sekedar tulisan, mengambang di udara hanya ucapan.
Tujuh tahun hubungan semu itu berlanjut. Bayangkan tujuh tahun man… Kaya umur anak kelas satu SD aja. Akhirnya atas hidayahnya aku pun memutuskannya dan memilih untuk menjadi muslimah yang kaffah. Aku ingin menebus segala kesalahan tersebut demi kedua orang tuaku. Sekelam apapun masa laluku, bukankah masa depanku masih suci?
Maka aku pun kembali menjalani kehidupan sebagai santri hingga saat ini.
“Siapa suruh ngehafalin Qur’an? Seandainya kamu nggak usah repot-repot melototin kitab tebel itu, kamu udah bahagia sekarang.” Setan dalam hati usil menggoyahkan imanku.
“Sudah, kamu tidak usah mendengarkan dia. Ingat! Tujuan utamamu. Masih lebih ringan kesulitan hidup di dunia, dibandingkan siksa di neraka. Mungkin sekarang mendung dan angin sedang kencang. Tapi, tidak mungkin kan akan hujan selamanya” suara hati yang lain ikut menasehati.
“Halaaahh, bulshit itu mah. Kamu itu dah terlalu lama mondoknya. SMP mondok, SMA juga, bahkan sampai sekarang kuliahpun masih awet aja. Udah cukup bekalmu untuk membina rumah tangga. Nggak usah nyiksa diri terus. Masih ingat cowok yang datang melamarmu putra Kyai dua tahun lalu? Noh, liat dia sekarang! Udah bahagia sama pilihannya yang baru. Salah sendiri kamu kelamaan mondoknya. Nahloh, diembat kan sama yang lain”.
Widih! Ni setan pinter banget ya cari celah kelengahan kita. Siapa juga yang bisa ngelupain kejadian langka bin tak terduga tersebut? Seorang Kyai besar yang juga teman lama Abah datang ke rumah bersama putra sulungnya yang telah lulus S2 datang ke rumah berniat meminangku. Waktu itu aku baru mau masuk kuliah S1. Dan entah bagaimana jawaban Abah pada saat itu, aku tak tahu pasti.
Aku pun juga tak terlalu memikirkan masalah itu. Aku menjalani hari-hari normal seperti biasa. Kuliah, mondok, belajar dan pacaran (kadang hihi). Hingga akhirnya aku dengar kabar putra Kyai tersebut telah menikah tepat ketika aku sudah menghafalkan Qur’an satu tahun yang lalu. Andai dulu aku langsung mau, mungkin benar kata Bang Toni ini, Syaithonirrojim maksutnya. Sekarang mungkin aku udah menjadi Ibu dan Istri dari Putra Kyai yang terkenal itu. Nggak kalah sama Ernita
“Iya, bener banget kamu. Liat Ernita! Dia yang awalnya mau menghafalkan Qur’an saja langsung batal gara-gara ada cowok tajir yang meminangnya. Ah kamu masak kalah sama anak kecil”.
“Jangan termakan bujukannya dia. Allah sedang mempersiapkan yang lebih baik untukmu. Bersabarlah karena rencana Allah adalah yang terbaik dan terindah.”
Eh, astaghfirllah hal ‘adzim. Tiba-tiba aku tersadarkan. Kenapa juga aku menyesal? Itu sudah menjadi pilihanku dan takdirku. Mungkin memang aku tidak dijodohkan dengan dia. Allah tak mungkin kliru. Tulang rusuk tak mungkin tertukar. Udah lah fokus sama hafalannya aja. Jadi muslimah kaffah emang sulit, soalnya kan surga emang mahal.
Dilangit terlihat beberapa bintang berkumpul membentuk gugusan, bagai sekelompok orang yang berbagi kehangatan. Jauh dari kumpulan bintang-bintang tersebut, terlihat satu bintang. Yang entah merasa terasing dan kesepian ia pun jatuh sambil menarik ekornya yang panjang.
Tak terasa sudah dua jam aku berdialog dengan hatiku. Menatap Al-Qur’an yang tergeletak di atas meja belajar. Tak ada yang tahu arti tatapanku. Melamun, merenung, muhasabah atau menyesal? Tatapan tanpa arti.
####
Aku masih pulas. Matahari sebentar lagi akan menampakkan sinarnya. Ayam jantan sudah bangun dari tadi lebih rajin dariku. Maklum hari ini aku dapat kortingan dari Allah, alias datang bulan. Yah sesekali molor nggak apa kan? Jam lima tepat aku bangun dari tidur. Langsung capcus ke kamar mandi. Yah namanya juga santri semuanya harus sabar dan antri.
Sambil merem melek karena emang nyawanya belum terkumpul, aku mendengar slentingan anak-anak. Bukan maksut nguping sih, tapi kedengeran tuh, gimana lagi? Maapin yah, ya Allah. Kabar tersebut spontan membuat nyawaku semua terkumpul seketika dan mataku melek selebar-lebarnya.
“Hiks hiks hiks aku harus gimana lagi Mbak? aku kira aku yang satu-satunya dan terakhir yang ada dalam hatinya. Siapa sangka kalau ternyata dia masih menginginkan perempuan lain?” ternyata benar yang aku dengar isu di kamar mandi tadi. Sekarang yang diomongin, orangnya tepat berada di depanku.
Ernita curhat perihal masalahnya dan suaminya. Suaminya ternyata diam-diam sering keluar dengan wanita lain. Eee… Malah sekarang minta mau nikah lagi. Nahloh, Bingung aku mau bilang apa, karena aku juga belum berumah tangga.
“Apa aku kualat ya Mbak sama Al-Qur’an? Aku yang niat awalnya ingin menjadi khafidhah malah berbelok tujuanku gara-gara dapat pinangan lelaki itu? mungkin aku terlalu terburu-buru”
Haduh, aku malah nggak bisa jawab kuadrat nih. Menikah itu baik, malah diganjar telah menyempurnakan separuh dari agama. Tapi menghafalkan kitabullah juga baik sih, kita bisa menolong keluarga kita ke surga nantinya. Kenapa lidah ini kelu tak bisa mengucapkan sepatah kata pun di hadapan manusia di depanku ini?
“Udah, nggak usah nangis. Aku nggak berani komentar apa-apa. Lagian kamu tahu sendiri aku belum nikah. Ayo ku antar ke Abah Yai aja. Insya Allah beliau bisa bantu dan ngasih saran yang lebih baik untuk kamu.”
Akhirnya kalimat itu yang terucap. Daripada nanti salah ngomong. Langsung aja minta pendapat yang lebih berpengalaman.
Satu jam Ernita menghadap Abah Yai. Setelah dirasa cukup, akhirnya ia undur diri pamit pulang. Kasian sekali aku melihatnya. Ia yang masih muda, cantik, dan baru tiga bulan membina rumah tangga, tapi harus menerima cobaan seberat itu.
Ia tidak tahu kalau dirinya akan mengalami patah hati, karena kesan pertama yang diberikan lelaki itu. Ia bagaikan masuk ke dalam lautan yang mengamuk, tanpa menghirukan adanya suara peringatan yang berulang-ulang. Entah sudah berapa banyak orang bodoh yang berlari masuk ke neraka dengan kaki mereka sendiri, segera setelah membuktikan kepercayaan mereka tentang cinta.
Awalnya, ia sendiri telah mengetahui kalau sang pria memang dikenal play boy. Ia pun yakin suatu saat pasti si cowok berubah. Tapi, ternyata penilaian manusia masih kalah dengan penilaian Sang Rabb. Ernita adalah tipe orang yang berpikir akan semakin lebih baik jika seseorang tidak terburu-buru menilai orang lain secara sepihak, karena dunia ini adalah tempat orang-orang dengan mudahnya percaya dan melupakan berbagai macam hal.
Seminggu setelah kunjungannya, aku mendengar Ernita drop out dari kuliahnya dan memilih bekerja di luar kota ikut sanak saudara. Bagaimana dengan suaminya? Ia malah sudah tidak peduli sama sekali.
Terkadang kita menganggap hidup orang lain lebih enak, padahal mungkin saja dia lebih sulit, hanya saja tak tampak oleh kita.. Pada akhirnya selalu terbukti rencana Tuhan lebih indah dari pada rencana kita. Ternyata dibalik ketidak tahuan kita, Allah telah memberikan banyak sekali pelajaran.
Aku memang bukan orang yang baik, tapi aku berusaha menjadi lebih baik. Tuhan memang unik dan susah ditebak, seandainya aku tidak terjerumus dengan konsep yang namannya pacaran, mungkin aku tidak semenyesal ini serta tidak menyadari betapa banyak dosa yang telah aku lakukan. Hingga akhirnya aku bertobat dan mencoba memperbaiki akhlakku. Seandainya aku juga tak mengetahui permasalahan yang dihadapi Ernita, mungkin aku juga ngebet pengen nikah dan meninggalkan Al-Qur’anku. Hiks hiks Syukur kur kur
By; Dy (Pecinta Pagi, Penikmat Kopi)