“Allahu akbar”
Sinar senja menyelimuti ruang itu, sunyi menjadikan debu tiada lalu hanya karena aku, menatap lantai putih. Aku mengikuti apa yang si Mbah dawuh, tutur lembutnya mendengung gendangku di sepanjang sudut telinga yang bengkok ini. Kepala menyatu dengan bumi yang bergetar, suara mereka seakan menolak kebohongan di atas. Harga diri mereka diinjak oleh kera ganas. Lirih kanan, tidak seperti ibu mengusap keningku di senja merah itu, sama bapak membawa kopi hangat dan koran kumuh warna coklat di ketiak. Aku ganti menatap kiri. Dulu kakek menekan pundak ini saat memancing di danau belakang rumah. Beliau bilang, “jangan sombong jadi orang beriman, ikan saja selalu wiridan setiap bekerja. Tidak pernah dia menyombongkannya. Lee… suatu esok hari bagimu, jadilah seperti ikan”. Aku tersenyum. Tidak heran setelah salam aku tersenyum umpet. Mengeja kata kakek yang lucu.
“Alhamdulillah…”
Hilir mudik mungkin membuatku tenang. Namun dia masih mengusik otakku, diiris pelan, sangat pelan, lambat pelan. Duh, aku mengambil koran yang terdampar di kursi panjang berwarna hitam. Tanggal yang sama dengan hari ini. Aku mulai asyik di bagian opini. Sorang santri meraih mendali emas dalam Olimpiade bahasa inggris. “aku menang aku menang, alhamdulillah akhirnya menang mengikuti kompetensi nasional. Tidak sangka menyaingi sekolah terpadu. Wong saya saja dari pesantren salaf. Duh Gusti, terima kasih” celotehnya syukur. Gemuruh tepuk tangan mulai mengimbangi saat selepas santri itu menuruni panggung kejuaraan. Penonton melebihi mangkok gedung, bahkan aku melihat ada yang rela memanjat demi menonton perlombaan. Memang hebat namanya santri itu.
Saat memilih halaman koran. Tiba-tiba tawuran gaduh mulai menggelora di sepanjang jalan pasar Wage. Satu dua orang melempari pemuda bersenjata gir ditali dengan sabuk. Tidak tahu penyebab meletus tawuran itu, hanya saja mereka mengenakan seragam sekolah. Mungkin tawuran atar sekolah. Biasalah mereka perang hanya sebab senggol milik orang. “zaman sekarang tidak ada habisnya”. Aku mulai membalik dari halaman awal.
“kita adalah bangsa Indonesia. Yang memiliki persamaan dan kesatuan hak. Kami ingin harga BBM turun” seorang provokator demo mahasiswa menjadi-jadi di atas mimbar kecil, warna hitam pekat, tertulis turunkan BBM di kain putih diikat pada batang kayu panjang sehingga berkibar diangkasa raya. 200 orang menggelora di depan gedung DPR. Tidak hanya mahasiswa, tetapi PNS juga ikut mendemo kelalaian wakil rakyat itu. Seakan suguhan mereka berikan tidak sepenuh piring. Mereka protes dengan lika-liku yang tidak karuan, membuat rakyat tidak nyaman. Aku memandangi mereka, ekspresi kebencian. Dari tatapan mereka menunjukkan beban berat yang dipikul, bahkan beban yang semakin bertambah setiap menitnya. “kapan? Indonesia akan damai dan sejahtera, hmm. Semoga Allah memberikan jalan terbaik”
Air got mulai menggenangi kaki, sampah terambang lalu lalang di segala penjuru tempat. Aku kebingungan dengan banjir yang melanda kota. Warga setempat mulai memindahkan barang yang mungkin bisa diselamatkan dan diperlukan. Penyebabnya, hujan deras mengguyur kota. Air hujan terhambat sampah, sehingga air got ikut ambyar di penjuru jalan dan perumahan. Tim sar juga ikut membantu, menelusuri gang rumah dan jalan dengan perahu karet. Seluruh permukaan rata air. Hanya atas rumah yang terlihat. “kemungkinan air akan naik lagi ketika hujan nanti. Diharapkan korban tidak bertindak semena-mena di luar sepengetahuan tim sar” begitulah kata ketua tim sar menyarankan kami.
Semua membuyarkanku ketika dia mengusik otakku lagi. Aku mulai gugup, badan bergetar tanpa jeda, keringat mengalir deras membasahi baju. Aku memperbaiki penampilan dengan sapu tangan, tidak menyisakan keringat apek di muka.
“pak giliran Anda interview” dia memanggilku.
“astaghfirullah…”