Gilang, itulah nama seorang siswi di sebuah sekolah SMP Swasta di kawasan Mojokerto. Dia terkenal sebagai murid yang berprestasi dan murah senyum. Di sekolah Gilang terdapat sebagai komunitas ludruk. Hanya siswi-siswi pilihan yang dapat bergabung dalam komunitas tersebut. Gilang yang tadinya tak yakin kalau dia bisa bergabung, merasa lega setelah nama-nama anggota komunitas ludruk baru terpasang di madding koridor sekolah. Yap, namanya ada diantara 40 anggota ludruk, sungguh kebanggaan tersendiri bagi Gilang. Seketika itu seorang guru menghampirinya “Lang, seminggu lagi ada pentas undangan lho, persiapkan dirimu ya nak!”. “Baik pak, akan saya persiapkan” jawab Gilang dengan penuh sopan santun.
Seminggu penuh kominutas ludruk itu berlatih. Untuk pentas minggu depan, komunitas itu berencana membawakan sebuah ludruk yang berjudul Jaka Tarub. Kelenting kuning adalah peran yang dipegang oleh Gilang. Di butuhkan bakat menari dalam peran itu. Tentu Gilang sudah merasa mampu. Akhirnya gladi bersih dilaksanakan tepat di lokasi acara. Setelah gladi terakhir selesai, evaluasi pun dimulai. Dalam evaluasi tersebut di moderator oleh pak Edi, selaku guru seni di sekolah Gilang. “Kalau menari itu yang ikhlas, jangan seperti menghantar kepemakaman saja! Kepala itu pandangan lurus jangan menghadap kebawah terus. Jangan seperti dia!!!” lontar pak Edi dengan penuh keegoisan dan menunjuk, parahnya lagi arah tunjukan itu tertuju pada Gilang. “Tuhan . . . . begitu malunya aku. Apakah benar aku yang di maksud?” gumam Gilang dalam hati. Gilang mati gaya dalam tunjukan tangan pak Edi, semua mata terarah padanya. Keheningan terjadi.
Tepat setelah kejadian itu, malam harinya pentas ludruk itu dimulai dan diiringi dengan meriahnya suara petasan di malam tahun baru. Malam yang penuh dengan rasa gejolaknya hati, susah, malu, dan senang, semua campur menjadi satu.
Sebulan setelah acara itu berakhir, berita buruk tersebar di komunitas ludruk itu. Gilang diharuskan keluar, karena dia akan pindah sekolah. Di sekolah barunya ini, dia mau menunjukkan bahwa dia bisa. MTs Sunan Drajat adalah pilihannya. Awal masuk di sekolah itu, Gilang sudah terpilih menjadi anggota OSIS. Tepat pada acara besar, Class Meeting Gilang ditunjuk sebagai MC. Tentu dia tidak percaya. Semua teman-teman sekolahnya tidak percaya tapi setelah acara itu selesai, dia bersyukur dapat membuat semua pandangan mata terpaku padanya. Semua teman-teman sekolahnya tidak percaya bahwa dia yang telah berdiri tepat diatas panggung, yang dengan PD-nya menjadi master of ceremony.
Setelah acara tersebut selesai, Gilang teringat pada pengalamannya dulu. Pak Edi itulah yang diingat. Akan kelentikan jari menghinanya didepan banyak orang. Tapi rasa dendam tak ada sedikitpun dihatinya. Dia ingin berterima kasih, berkat hinaan dari pak Edi, Gilang tergugah untuk terus memupuk potensi dan rasa percaya diri yang ada dalam dirinya. Dari yang dulu menari selalu menghadap kebawah, toh sekarang Gilang malah menjadi siswi andalan sebagai Master of Ceremony di setiap acara OSIS di sekolah barunya dan pandangannya akan terus lurus tuk memandang masa depan seperti impiannya. Berani bicara dan bertindak, itulah kuncinya tuk lebih maju. Yesterday is history, tomorrow is mystery, today is gift and I hope you must “ Dream believe make it happen.
=======
Agilang Pamungkas; Az-Zakiyah