Beranda Berita Imam Al-Ghazali dan Sebuah Tuduhan

Imam Al-Ghazali dan Sebuah Tuduhan

135
0

Oleh: Gus Muhammad Ma’mun


Kalau di hari ini kita kerap mendengar tuduhan bahwa Quraish Shihab itu Syiah atau bahwa Gus Dur itu kiai sesat, itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ini adalah bagian dari pertarungan pemikiran. Dan dari dulu, pertarungan pemikiran di antara para ulama selalu begitu. Tidak cuma melibatkan perdebatan akademis dan polemik lewat buku, tapi juga stigma, persekusi, hingga fitnah. Bahkan ulama sekaliber al-Ghazali pun pernah merasakan semua ini.

Ceritanya, pada tahun 1106, wazir Negara Saljuq Fakhr al-Mulk mengangkat al-Ghazali sebagai mahaguru Madrasah Nizhamiyyah di Nishapur, setelah 12 tahun ia menempuh jalan Sufi dan selesai menulis Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Tak dinyana, al-Ghazali menerima perlawanan yang sengit dari para ulama Nishapur. Teologinya dicap menyimpang dari ajarannya al-Asy’ari, dianggap bersimpati kepada ajaran Mu’tazilah, dan dituduh menyelipkan ajaran-ajaran para filosof Yunani kuno di dalam kitab-kitab tasawufnya. Para ulama ini mengharamkan kitab-kitab al-Ghazali dibaca. Dan tampaknya, ada demo jalanan untuk menentang pengangkatan al-Ghazali sebagai mahaguru.

Fakhr al-Mulk, putera wazir Nizham al-Mulk yang tersohor itu, cuek saja menghadapi kecaman dan demo-demo ini. Ini kelihatannya membikin para ulama konservatif di Nishapur semakin panas saja. Maka, seperti para netizen zaman now yang gemar mencari ‘jejak digital’ untuk mendiskreditkan orang-orang yang mereka benci, para ulama ini mencari karya-karya al-Ghazali yang ditulis di masa muda, untuk menemukan unsur-unsur yang mereka pandang salah dan patut dibawa ke pengadilan. Dan mereka merasa menemukannya. Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, buku catatan kuliah al-Ghazali yang ditulis ketika ia masih berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, mereka tuduh mengandung pernyataan yang bernada menghina terhadap Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Tuduhan penistaan kemudian mereka ajukan kepada Sanjar, raja Saljuq Timur, yang kebetulan bermazhab Hanafi. Al-Ghazali dipanggil untuk memberikan klarifikasi kepada Sanjar, dan untunglah, ceritanya berakhir bahagia. Sanjar meminta maaf, dan al-Ghazali menulis kitab Nashihat al-Muluk sebagai hadiah kepada sang sultan.

Masa-masa berat dalam hidup al-Ghazali ini direkam dengan hidup dalam risalah-risalah pendeknya seperti al-Munqidz min adh-Dhalal, al-Imla’ fi Isykalat al-Ihya’, dan Faishal al-Tafriqah baina-l-Islam wa-z-Zandaqah. Mukadimah buku yang disebut terakhir, yang diterjemahkan oleh Cak Nur menjadi “Penjelasan yang Menentukan” (dalam buku ‘Khazanah Intelektual Islam’), berisi pembelaan berapi-api terhadap tuduhan-tuduhan di atas.

Dengan sengit, al-Ghazali menulis bahwa mereka yang berpikir bahwa berbeda ‘sejengkal saja’ dari pemikiran al-Asy’ari akan membuat kita kafir adalah orang-orang yang “mentah, bodoh, dan masih terbelenggu oleh taklid.” Ia juga menulis bahwa hakikat dan definisi ‘kekafiran’ tak mungkin diketahui oleh mereka yang memuja jabatan dan prestise serta tergila-gila oleh harta dan kekayaan. Keimanan dan kekafiran, katanya, adalah rahasia ilahi yang tak mungkin diketahui oleh mereka yang menuhankan nafsu, menyembah penguasa, berkiblat dinar dan dirham, bersyariat kecerobohan, dan mengimpikan prestise.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini