Matematika adalah salah satu cabang ilmu yang terkadang dianggap momok oleh sebagian orang. Padahal, di balik semua itu ada banyak keunikan dan keistimewaan tersendiri yang dimilikinya. Pada hakikatnya matematika adalah dasar dari kehidupan setelah bahasa. Matematika dapat kita integrasikan atau padukan dengan cabang ilmu yang lain, seperti ilmu alam, ilmu sosial, bahkan ilmu agama.
Salah satu materi paling dasar dalam matematika adalah sistem bilangan bulat. Ada beberapa pengertian bilangan bulat menurut beberapa penulis. Ada yang mendefinisikan bahwa bilangan bulat adalah himpunan bilangan yang terdiri dari himpunan bilangan cacah dan himpunan bilangan bulat negatif, ada juga yang mendefinisikan bahwa himpunan bilangan yang terdiri dari himpunan bilangan asli dan himpunan bilangan bulat non positif. Namun sebenarnya, kedua definisi tersebut sama-sama benar, karena jika diperhatikan, himpunan bulat non negatif itu adalah himpunan bilangan cacah, dan himpunan bilangan bulat positif adalah himpunan bilangan asli. Himpunan bilangan bulat biasa disimbolkan dengan huruf Z (Zahlen). Contoh:
Ada beberapa sifat yang berlaku pada himpunan bilangan bulat, antara lain sifat tertutup, komutatif, asosiatif, elemen identitas, dan elemen invers. Dari beberapa sifat tersebut, muncullah teorema-teorema. Di sini, penulis akan mengambil salah satu teorema, yaitu:
Menurut penulis, definisi dari teorema tersebut yang khususnya pada dapat dianalogikan seperti diampunkannya dosa-dosa kita sebagai manusia yang berbuat dosa dengan jalan bertaubat kepada Allah Subhanahuwata’ala. Diasumsikan dosa-dosa kita sebagai dan taubat sebagai lawan atau invers dari yaitu tanda hasil bilangat bulat positif di sini diasumsikan sebagai diterimanya taubat kita setelah berbuat dosa sebelumnya. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah Al-An’am : 54 serta hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi.
كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ …
“Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’aam[6]: 54)
قَالَ الله تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِيْ، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكْ بِيْ شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau memohon dan mengharap kepadaku, niscaya Aku ampuni dosa-dosamu yang lalu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sampai ke awan langit, kemudian engkau memohon ampun kepadaku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang kepadaku dengan dosa-dosa sepenuh bumi dan kamu menemuiKu dalam keadaan tidak menyekutukanku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datangkan untukmu ampunan sepenuh bumi (pula)” (HR. At-Tirmidzi)
Berdasarkan ayat tersebut, Tafsir Quraish Shihab menjelaskan bahwa barangsiapa bertobat, memperbaiki perbuatannya dan beristiqamah setelah melakukan kezaliman, maka Allah akan menerima pertobatannya. Sesungguhnya Allah Maha luas ampunan dan rahmat-Nya terhadap dosa, dan penjagaan dari keburukan dosa tersebut. Sebab, pengampunan dan kasih sayang merupakan sifat-sifat Allah.
Dalam hal ini, penulis menghubungkan bahwa pengampunan Allah Subhanahuwata’ala setelah kita bertaubat dari hal-hal yang buruk sesuai dengan definisi teorema yang khususnya pada yang dimana tanda diasumsikan sebagai pertaubatan kita kepada Allah karena kita melawan hawa nafsu untuk tidak berbuat dosa, diasumsikan sebagai perbuatan dosa yang telah kita lakukan, dan hasil bilangan bulat positif disini diasumsikan sebagai diterimanya taubat kita setelah berbuat dosa sebelumnya.
Karya: Anis Maria Ulfa (Alumni Tim Redaksi Mading Natijah Al-Fikr Pondok Pesanten Sunan Drajat – Tahun 2018).