Jangan Bawa Aku ke Neraka Nak
Teks: Dy (Penyuka Pagi)
Malam ini langit sangat indah dan cerah. Tidak mendung. Bintang gemintang menggantung tanpa tali. Cahaya rembulan separuh menelisik daun-daun yang takut gelap.
“Intan, sudah disiapkan belum barang yang akan dibawa besok?”
Terdengar suara perempuan berumur empat puluh tahunan sambil membuka pintu dan hendak masuk ke dalamnya.
Aku cepat-cepat menyembunyikan ponsel di bawah bantal. Kemudian berpura-pura mengemas barang untuk kumasukkan dalam tas.
“Iya, Bu, ini Intan juga lagi packing.”
“Bagus, diteliti semua barangnya! Jangan sampai ada yang ketinggalan, ya.”
Ditemani Ibu disampingku. Akhirnya, aku pun benar-benar mempersiapkan semua barang yang akan kubawa kembali ke Pesantren besok.
Aku adalah gadis berusia tujuh belas tahun salah satu murid Madrasah Aliyah Negri yang berada di salah satu sekolah ternama yang ada di Kota Jawa Timur. Kurang lebih tiga tahun telah aku lewati tinggal terpisah dari kedua orang tua. Seperti tiga kakakku sebelumnya, aku pun nyantri di Pondok Pesantren yang tidak jauh dari sekolah.
Selain cantik, aku pun merupakan murid yang berprestasi. Pembawaanku yang ramah dan murah senyum kepada siapa saja, membuat banyak teman menyukaiku. Tak terkecuali lawan jenis, tidak sedikit yang menaruh hati padaku.
Tidak hanya itu, aku dilahirkan dari keluarga seorang da’i. Untuk itu lah semua saudaraku mengenyam pendidikan di ponpes dimana tempat sejuk dengan agamisnya.
Tidak ada manusia yang sempurna. Hukum alam yang memang benar adanya. Walaupun aku dikarunia oleh Tuhan segudang keistimewaan, tapi, ada saja kekurangan pada diriku. Seperti sebagian remaja kebanyakan, aku juga terjerumus oleh konsep ‘pacaran’. Manis didengar namun menjerumuskan.
Malam ini adalah malam terakhir di rumah. Seperti biasa, aku tak akan tidur sebelum larut malam. Sibuk ber-chat ria dengan Galang. Remaja berandal yang beruntung mendapatkanku.
“Say, besok aku udah balik ke pesantren, sedih banget. Ini terakhirnya aku megang HP”
“ Tidak apa-apa sayang, kita masih bisa berhubungan. Kan, sayang bisa pinjam Hp teman”.
Aku tersenyum. chatting pun berlanjut hingga tertidur dengan ponsel masih berada dalam genggaman.
#####
Matahari masih bertengger di selatan garis katulistiwa. Angin tenggara bertiup kencang menggiring udara kering. Sungai-sungai menggelapar tanpa aliran air dari gunung. Ilalang yang tumbuh disekitarnya menguning karena terik matahari.
Dengan mengendarai mobil civic keluaran terbaru, aku diantar Abah hingga ke terminal. Awalnya, pria berusia lima puluh tahunan itu ingin menemani buah hatinya hingga mendapatkan bus yang akan ditumpangi selanjutnya. Tapi, aku meyakinkan Abah kalau akan baik-baik saja seorang diri.
Dasar aku memang anak nakal. Begitu yakin Abah telah pergi, aku malah menuju wartel terdekat untuk menghubungi seseorang. Ku pencet beberapa digit nomer yang telah ku hafal luar kepala.
Tak lama kemudian, datang seorang cowok mengenakan pakaian serba hitam, dipadu padankan dengan celana jeans belel, topi berwarna senada bertengger di kepalanya, ditambah telinga terpasang tindik menambah gaya tampilannya yang terkesan berandal. Sepasang anak muda yang dimabuk asmara melaju kencang di atas motor trealnya.
Di tempat yang berbeda, ada seseorang yang dilanda kebingungan dan kecemasan luar biasa.
######
Sabar. Hanya itu yang bisa Abah lakukan. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang terjadi selanjutnya. Dan cerita ini baru ku ketahui dua tahun setelahnya. Awalnya ketika berhenti di pom bensin, sambil menunggu mobilnya terisi. Beliau membuka-buka handphoneku yang kuberikan tadi sebelum berpisah. Iseng membuka chattingan sang buah hati, terlihat satu kontak yang diberi nama insial “bbb” memenuhi pesan masuk. Karena penasaran dibukanya.
Betapa terkejutnya Abah tahu apa yang akan dilakukan anaknya sekarang, buru-buru ia balik arah menuju tempat terakhir mengantar darah dagingnya. Sia-sia sang anak sudah tidak terlihat di tempat.
Ketika tiba di rumah, sebisa mungkin ia tidak menampakkan wajah gelisahnya. Tapi sang istri yang telah hidup berpuluh tahun bersama bisa membaca gelagat suaminya.
“Bagaimana, Bah? Intan baik-baik saja kan? Apa tidak apa-apa dia tidak diantar sampai pondok?”
“Tidak apa-apa, Bu. Intan kan sudah besar, dia pasti tahu yang baik dan tidak,. Anak kita akan selamat sampai tujuan.”
Serasa berat mengatakannya, tapi lelaki itu tak ingin memberi tahu yang sebenarnya terjadi. Ia tak ingin membuat sedih dan khawatir sang istri. Kalimat tersebut bukan kebohongan, ia niatkan sebagai doa yang ditujukan untuk putri tersayangnya.
“Yang penting, Ibu selalu dan jangan pernah lupa mendoakan Intan agar selalu dilindungi oleh-Nya.”
Wanita sederhana itu pun mengangguk tawadhu’ walaupun dalam hatinya tersimpan rasa ingin tahu.
Dalam keheningan malam, masing-masing larut dalam doanya. Seperti yang dilakukan semenjak mereka berumah tangga. Sholat tahajud tak pernah satu kali pun terlewatkan. Suami istri itu pun bermunajat kepada Sang Khalik pemberi kehidupan. Mendoakan keluarga kecilnya, agar selalu mendapat Rahmat dan hidayah-Nya.
“Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahiim. Maafkan hamba yang tidak bisa menjadi orang tua yang baik, maafkan hamba yang gagal mendidik anak hamba. Bagaimana mungkin hamba yang mengingatkan dan selalu mengajak orang-orang meninggalkan maksiat, tapi malah melalaikan anak hamba sendiri, yang melanggarnya.”
“Ya Allah, hamba benar-benar malu kepada Engkau. Engkau hanya satu, tapi bisa dengan mudah mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Tapi hamba tidak bisa mengurus satu anak gadis hamba. Hamba telah gagal mendidiknya Ya Allah. Hukumlah hamba saja, yang lebih pantas menerimanya. Berikanlah petunjuk kepada Intan, lindungilah ia selalu Ya Allah. Amiin”
#######
Hari ini adalah hari yang menentukan nasib peserta didik kelas tiga. Ya sekaranglah pengumuman lulus atau tidaknya mereka. Tak ketinggalan aku pun ketar-ketir dibuatnya.
Tepat jam 09:00 pagi hasil ujian keluar. Aku melonjak kegirangan dan tak lupa mengucapkan syukur kepada Allah atas keberhasilan ini. Aku akan langsung pulang. Naik bis seorang diri tanpa memberi tahukan orang tua dan juga kekasihku.
#####
Di dalam bis aku duduk bersama seorang Ayah dan anak kecil yang kira-kira berusia TK. Aku tersenyum kepada keduanya, tapi hanya dibalas oleh si anak, tidak dengan ayahnya.
Seperti biasa. Dalam bis ada penjaja makanan yang menawarkan dagangannya. Si Anak pun meminta kepada Ayahnya untuk membelikan kue coklat yang ditawarkan. Tapi sang Ayah menolak bahkan memukul anaknya yang tidak berhenti merengek
Tiba-tiba aku teringat kepada Abah. Diusiaku yang masih kecil hingga sekarang, tak pernah satu kali pun Abah memukul. Jangankan untuk memukul, mencubit pun tidak pernah. Orang tuaku memang tegas dan disiplin. Ketika anaknya melakukan kesalahan, dinasehatilah dengan bijak dan cara yang baik. Tidak dengan kekerasan.
Seketika, kenangan dengan sang Abah satu demi satu bermunculan. Intan kecil menyimpan takut agar minta dibelikan piano yang dilihatnya ketika keluar bersama sang Abah. Awalnya lelaki berusia empat puluhan itu menolak. Aku bersedih, tapi tidak sampai menangis. Tak lama kemudian, Abah mengajak putar balik ke tempat dimana si gadis kecil melihat piano yang diinginkannya. Alhasil, jadilah aku memiliki benda yang aku impikan.
Tidak hanya itu. Ketika aku mendapat peringkat dua karena kebanyakan nonton televisi hingga belajarku keteteran. Terlihat wajah kekecewaan beliau. Tanpa memarahi, kepala keluarga itu malah bercerita tentang seorang anak yang kecerdasannya berkurang hingga delapan puluh persen disebabkan terlalu seringnya menonton televisi. Mulai saat itu, aku pun tak pernah sekali pun menonton kotak segi empat elektronik tersebut.
Liburan awal pesantren, saking bahagianya aku minta dijemput Abah. Siapa sangka? Pria berwibawa itu datang lebih pagi. Ketika upacara bendera, aku melihat Abah berbincang-bincang dengan salah seorang Guru di pos satpam. Aku senyum-senyum memperhatikan. Padahal dari pihak pesantren sendiri mengijinkan santri pulang setelah kegiatan belajar mengajar sekolah usai. Bayangkan barapa jam Abah harus menunggu?
Terakhir kenangan di terminal “janjian diam-diam” itu pun membuat semakin dalam rasa bersalahku. Aku seolah-olah telah melihat abah tersiksa dalam kobaran api besar yang menjilat-jilat. Bukankah aku pernah mendengar dari seorang ustadz, “kalau seorang anak melakukan dosa atau maksiat, maka itu sama saja menyeret Ayahnya ke neraka”. Sekejam itu kah aku? Padahal terlihat jelas bagaimana rasa sayang dan pengorbanan sang Abah selama ini
Bus yang kunaiki sudah sampai di tempat tujuan. Di dalam kendaraan, aku hanya diam. Mulutku sejak tadi bungkam, mataku menatap keluar jendela, sementara hati ini entah kemana. Baru ketika Abang kernet memberitahu, aku gelagapan dan langsung turun.
Sore menggantung di langit. Asap pembakaran sampah di pinggir jalan sebagian melambung ke langit. Menyentuh daun kelapa, pohon asam, dan ranting johar yang banyak tumbuh di pinggir jalan.
Rumah sederhana bercat putih telah di depan mata. Aku mengucapkan salam beranjak masuk ke dalam. Kedatanganku disambut senyum bahagia dari semua anggota keluarga. Tak lupa, aku pun memberi kabar gembira perihal kelulusanku. Di akhir kalimat, dengan bercucuran air mata, aku menyampaikan maaf kepada dua malaikat yang berjasa dalam hidupku.
Ibu tak tahu pasti, apa yang terjadi dengan putri cantiknya yang telah beranjak dewasa. Tapi beliau tidak banyak kata. Walaupun hati kecilya menjerit penasaran. Tapi, menenangkan buah hati itulah cara yang dianggapnya lebih baik.
######
Malam sudah larut. Angin dingin menyusup tulang. Tak selembar hasrat ingin membuka pintu lebar-lebar. Tak ada keinginan untuk memeras keringat. Karena malam sudah menutup semua pintu. Gelap dan senyap.
Ia tengah menggenggam episode yang mencekam. Aku berdoa dan meminta maaf atas segala dosa kepada Rabb semesta alam. Besok aku akan menyampaikan kabar yang pasti mencengangkan kedua orang tuaku.
########
Langit menyibak. Tak ada mendung yang menghadang sinar mentari. Cuaca kembali normal dan itik-itik kembali bermain ceria.
Aku terdiam. Ku tatap lekat tubuh kedua orang tua di depanku. Usianya mungkin sudah tak muda lagi.Wajahnya berkeriput menggambarkan garis ketuaan dan penderitaan dalam perjuangan hidupnya. Namun sorot matanya masih menunjukkan semangat dan ketabahan dalam segala usaha.
Memang inilah ujian yang diberikan Allah kepada hamba Nya, tinggal mampukah kita bertahan untuk berjalan di rel yang benar? Agaknya memanglah tepat apa yang dikatakan orang bahwa tidak bijaksana bila kita menggantungkan nasib tanpa berusaha untuk mengubahnya. Ya, hari ini aku harus menyampaikannya. Tak bisa ditunda lagi.
“Abah, Ibu. Intan ingin menghafalkan Qur’an.”
Sebaris kata yang benar-benar membuat dua malaikat dihadapanku bersyukur sebesar-besarnya kepada Sang pemberi hidup Sang pembolak-balik hati.
Aku ingin menebus segala dosaku. Membalas jasa orang tua dengan memberikan jubah kemuliaan di akhirat kelak. Seperti namaku, aku ingin menjadi Intan, perhiasan mutiara yang berharga dan langka. Dan barang siapa menginginkannya harus berani terjun di lautan yang dalam. Bukan batu bata yang bisa ditemukan dimana saja. Aku sendiri telah memutuskan hubungan berdosa dengan Galang pada malam sebelumnya aku utarakan niat tersebut..
“Intan, tetaplah menjadi mutiara di dasar lautan. Karena hanya lelaki shalih saja yang berani meminangmu dengan iman”. Pesan Abah kemudian.
Ku tatap mata kedua orang tuaku begitu dalam. Terlihat mata tuanya masih basah oleh air mata. Mata yang tak pernah kering siang malam. Mata kedua orang tua dengan perjuangan luar biasa. Mata yang setiap malam terjaga demi putrinya. Mata yang airnya selalu mengalir mengiringi doa-doa dalam sholat tahajudnya. Mata yang kelak akan melihat surga yang dijanjikan Allah Ta’ala. Kadang, hikmah dibalik petaka dan kesulitan baru kita pahami setelah waktu lama.