“Geng, ayo lewat Petiyen. Berani to?”, tanya Mas Ji yang sedang memboncengku.
“Monggo”, jawabku asal menjawab.
Sebelumnya setelah menghantarkan tiga teman kami pulang ke gresik yang kebetulan selesai kegiatan teater di MTs pondok. Aku dan Mas Ji menghantar mereka pulang. Maklumlah tiga teman kami adalah seorang wanita. Rumah mereka jauh dari pondok. Apalagi tidak pantas bagi mereka bepergian jam 12 malam. Takutnya yang tidak diinginkan terjadi. Untung saja sepanjang perjalanan tidak terjadi masalah. Entah itu di begal atau ban bocor di tengah hutan yang gelap, mungkin.
Mas Ji mengambil jalan ke selatan untuk kembali ke pondok yang jaraknya makin jauh dari pada pemberangkatan sebelumnya. bukannya aku menolak tawaran Mas Ji malah aku se-iya dengan pikirannya. Jalan ke selatan tidak seekstrim pemberangkatan sebelumnya, jalan sebelumnya sangat parah dan hancur, banyak lubang-lubang, penerangan yang minim, banyak lika-liku seperti tikungan tajam, gang sempit, dan bahkan sebuah jalan yang sebenarnya tidak layak dinamakan jalan. Sedangkan jalan ke selatan malah jalannya mulus apalagi jalan raya yang besar dengan penerangan di sejajar tepi jalan yang tertancap rapi sepanjang jalan. Hanya saja jalan itu menyisakan sepi, karena di sana tidak ada kendaraan hilir mudik sama sekali. Jadi tidak masalah mau motor kami melaju di sisi kiri atau di arus berlawanan. Hanya motor kami yang terus melesat sepanjang jalan ke selatan. Tidak ada cahaya mobil atau kendaraan lain dari depan maupun belakang. Hanya kami di sana.
Sepanjang jalanan hanya menyisakan dingin yang makin terasa dingin. Tidak hanya terasa, tetapi menyerap ke kulit, merambat ke daging, dan menusuk tulang. Bukan mainnya dingin waktu itu. Aku tidak merasakan jari-jariku meremas, seperti mayat hidup. Entah, apakah yang dirasakan Mas Ji sama denganku? Ia hanya menatap ke depan, mengontrol setir motor yang meluncur kencang sambil membisu. Tidak seperti biasanya ia berkomentar. Terkadang jika ada apa atau apa ia selalu berkomentar meskipun tidak nyambung.
Motor kami berhenti di tepi jalan. Dingin menjadi hangat sesaat, tetapi masih menyisakan dingin yang terasa dingin. Mas Ji menoleh ke arahku. Ia tersenyum dan membuka kata setelah sekian lama membisu di sepanjang jalan ke seletan.
“Ayo berhenti sejenak geng? Ada api unggun. Dingin!”, tanya Mas Ji berharap aku mengerti maksudnya. Dingin yang menusuk dan canggung sepanjang jalan membuat pikiranku mampet. Jangankan api unggun, nasibku nanti seperti apa aku tak memikirkannya.
“Monggo”, Jawabku asal menjawab. Tiba-tiba aku teringat sekilas. Aku coba tanya Mas Ji kembali “Bukannya sampean tidak bawa uang?”.
Ia terdiam. Sibuk membuka casing handphone yang berharap ada sesuatu di baliknya. Lalu ia mengangguk penuh arti
Sambil tersenyum ia bertanya lagi, “Bawa Uang?”.
Aku menepuk jidat. Entah pikiran apa yang ada di kepalanya. Aku tidak bisa menebak jalan pikiran Mas Ji. Lalu aku mengingatkan ia. Sebelum menghantar tiga teman kami tadi, aku bilang ke Mas Ji tidak bawa uang sama sekali. Jika ia betul menginginkannya, aku akan mengambilnya di asrama. Tapi ia malah menolak. Entahlah.
Saat Mas Ji menerima penjelasan dariku ia melontarkan pertanyaan yang aneh “Geng. Kamu takut?”, tanya ia memastikan.
Lagi-lagi aku menepuk jidat. Rasanya aku ingin mencabut mulutnya yang bertanya aneh-aneh. “Wes. Janji kalau ada apa-apa. Aku buatkan cerita”.
Saat ia mendengar jawabku. Ia langsung memutar balik, membawaku menuju ke tempat api unggun yang ia maksud. Ternyata api unggun yang ia maksud adalah warung lawas yang kebetulan membakar sampah di depan pojok warung. Tempat itu memang lawas dan aneh. Di sepanjang jalan ke selatan tidak ada satu dua rumah atau toko-toko di sana. Cuman itu satu-satunya warung yang menyala dalam gelap malam dan jalan, mengundang aku dan Mas Ji mampir menghangatkan diri di warung lawas dan aneh itu.
“Kulo nuwun”, kata Mas Ji yang masih di atas motor “Pak. Ini warung?”.
Salah satu dari tiga orang yang dari tadi asik mengobrol menjawab mantap, “Yo”.
“Ada kopi?”, tanya Mas Ji asal tanya.
“Ya jelas. Warung!”, jawab orang itu asal menjawab.
“Pesan dua pak”, kataku nimbrung yang dari tadi sudah turun dari motor meninggalkan Mas Ji.
Seorang yang mengaku penjual itu beranjak meninggalkan dua temannya lantas masuk ke daput. Dia memanaskan teko yang mungkin isinya air rebus.
Tanpa menoleh ke arahku penjual itu bertanya “Dari mana kalian?”, tanya dia curiga “Rumah kalian dimana? Malam begini malah keluyuran”.
Dingin yang terasa dingin makin menjadi-jadi saat perkataannya menelanjangi itu, aku hanya membisu, menunggu Mas Ji bantu menjawab.
“Dari drajat pak. Tadi selesai menghantarkan teman di Dukun, Gresik”, kata Mas Ji yang sedang parkir di sebelah warung.
Penjual yang aku tidak tahu namanya mengangguk asal-asalan sambil merapikan cangkir dan menuang bubuk kopi, mengabaikan Mas Ji yang sudah duduk lebih dulu di depan jendela warung, membiarkan aku masih tetap berdiri.
“Hei kalian”, aku dan Mas Ji menoleh ke arah penjual itu. Penjual itu mau memberitahu kami sesuatu yang sepertinya harus disampaikan “Perjalan pulang nanti jangan lewat Mertai” dia berhenti. Membuat aku penasaran kelanjutan ucapannya. Sambil mengaduk kopi, penjual itu melanjutkan “Di sana biasanya ada begal”, katanya mantap.
Aku dan Mas Ji saling menatap. Aku menelan ludah di tenggorokan dan menunggu penjual itu melanjutkan ucapannya.
“Jika yang di ambil sepadah kalian saja, tidak apa. Tapi kalau orangnya juga, jadi repot”, katanya menakut-takuti “Zaman sekarang ini menjadi susah-susahnya orang lain. Banyak penjahat di bebaskan dari penjara oleh Pemerintah, jadinya kejahatan bertambah. Pemerintah kok semena-mena bertindak?”.
Bicara penjual itu mulai pling-plang. Sebelumnya menasehati kami untuk berhati-hati. Sekarang menyalahkan pemerintahan yang dia anggap penyebab dari akibat adanya begal, ada-ada saja.
“Mau bagaimana lagi pak. Ekonomi kritis gara-gara Corona?”, Mas Ji nimbrung asik berbicara, juga ikut menyalahkan virus.
“Yah… Tukang memanaskan berita itu kerjaan media. Gara-gara kelakuannya, masyarakat jadi khawatir”, kata penjual itu sambil menyuguhkan dua cangkir kopi.
Apakah di warung ini hanya berisi salah dan menyalahkan. Jadi siapa dong yang benar. Aku biarkan mereka berbicara dalam larut kopi khas pantura itu yang menghangatkan dan segar. Aku menjadi pendengar mereka yang saling beradu info dan pandangan. Baik bejatnya negeri ini atau masalah begal.
“Dulu”, kata penjual itu sambil menghisap rokok “Sebelum adanya pagebluk sekarang ini. Ada yang namanya kolera dan flu burung yang tidak kalah mengerikan dengan corona. Apalagi wabah flu burung sebelum terkenal di telinga masyarakat desa, mereka merasa aman. Namun saat beritanya berkoar-koar, masyarakat malah dibuat panik dari pada dibuat tenang. Jangankan masalah kesembuhan, kesejahteraan sosial saja menjadi kesenjangan sosial”.
“Begitu pak ya?”.
“Gusdur berkata waktu itu. Media zaman sekarang merasa kebingungan, besok kemana? makan apa? Kalau zaman Soeharto. Media tempatnya jelas, makanpun jelas. Jadi dari kemaren hingga sekarang mereka bingung cari makan. Dengan cara menyebar kekhawatiran, adu domba, melecehkan individu”, Penjual itu membuang rokok yang makin pendek, mengambil botol air dan meminumnya lantas melanjutkan, “Jam satu lebih, yuk pulang”.
Aku dan Mas Ji saling menatap. Kami belum merasa puas mendengarkan penjual itu berkata, tenyata ia menyudahi pembicaraanya.
“Pesanku satu! Hati-hati di jalan”, penjual itu memadamkan lampu warung.
Aku tak menyadari jika api unggun yang membakar sampah di pojok warung itu sudah padam dari tadi. Aku cepat-cepat menghabiskan kopiku yang cukup banyak lantas menyusul Mas Ji yang sudah menungguku di atas motor.
Kami kembali meluncur ke utara. Meleset pada dingin sepanjang jalan pulang. Menyisakan kata demi kata penjual itu yang berisi kesalahan dan menyalahkan, atau dia tengah bertanya-tanya.
“Geng. Kamu ingat kata orang itu”, Mas Ji mulai berkomentar pada penjual itu “kita di sana Ngangsu pangaweruh. Mencari ilmu dari beliau”, ia berdakwah seakan aku memerlukannya. Tetapi memang aku membutuhkan komentar darinya.
“Tenang saja Mas Ji. Janjiku, kejadian ini aku buat cerita”, kami meleset di sepanjang jalan. Menjadi canggung dan tenggelam dalam pikiran. Baik aku dan Mas Ji, mungkin.