Beranda Berita Mentari dalam Surat untuk Sang Kekasih

Mentari dalam Surat untuk Sang Kekasih

102
0

Ingat saat itu Aku sempat melirik wajahmu yang jelita di tepi pantai belakang rumah. Kau menunjuk awan dengan mentari pagi berwarna putih kekuningan, bintik awan, dan cakrawala biru yang menyatu dengan laut terhembus menyentuh daratan bibir pantai. Kau loncat kegirangan menghindari ombak laut seperti anak kecil, merengek meminta aku menemanimu melakukannya bersama. Ada juga segerombolan burung yang mengepakan sayap di angkasa. Tapi tidak seperti burung kebanyakan. Bersarang, kawin, dan bertelur di atas ranting pohon. Ia digambarkan hanya berkepak dan terus demikian.

Saat itu aku tidak akan lupa kau pernah pergi ke pantai belakang rumah dan selalu menunjuk mentari putih kekuningan yang menerangi permukaan, menerangi palung laut yang gelap. Mentari yang tergantung abadi di atas, membuat kamu berharap kepada Tuhan untuk menjadikannya abadi di tempatnya. Walau kau tidak harus juga berharap, mentari itu akan selalu abadi di sana untuk saat ini, entah esok atau lusa ia mungkin beranjak dari tempatnya. Entahlah hanya waktu yang menyakinkan.

Aku ingin kamu mengingat kenangan itu di pantai belakang rumah. lalu aku mencoba menulis surat kecil untuk mu, dengan nama tujuan “Via” di atas. Kertas putih itu hanya berbunyi hampa saat aku menulis huruf-huruf di atas. Dan kau tahu Via saat aku akan memulai tulisanku. Semburat cahaya senja masuk dalam ruangan, warnanya jingga kemerah emasan dengan siluet pohon kelapa dan karang di pantai menjamur menghiasi di sudut pantai. Engkau tidak akan percaya setelah mendengarkan ceritaku ini, betapa indahnya pantai yang pernah kita jamah dulu dengan jijak kaki membekas abadi di wajah pasir putih. Tapi aku mengerti kamu seperti apa Via, menatap senja dulu dengan luluh air mata dingin membasahi pipi. Aku tahu kenangan buruk terjadi waktu senja mendesak mentari putih kekuningan yang selalu kau dambakkan.

Via yang manis, via yang tertawa kekanak kanakan, manis.

Begitu dua cahaya mentari bertemu terdesak oleh senja yang kau benci muncul, aku membakar surat itu dengan perasan bersalah. Apakah aku akan mengirim derita ini  lagi kepada mu Via saat kini engkau yang tidak ku tahu keberadaanmu—ujung dunia atau ufuk?. Aku hanya ingin kau mengingatnya agar bisa kau ceritakan kepada anak-anak. Cerita yang esok menjadi mitos dan dongeng. Agar masa depan tahu bagaimana merasakan pantai dengan terang mentari yang bergantung abadi di belakang rumah. Aku hanya ingin kamu merasakannya sekali lagi, Via yang manis.

Akan ku ceritakan bagaimana aku membuat surat ini padamu. Sore itu saat senja muncul, aku mulai belajar membenci senja sepertimu. Kau tahu aku membakar surat yang sebenarnya ingin ku kirimkan kepada mu. Kamu juga mengenalku kan bagaimana sifat ku terhadap kata-kata. Aku memang muak dengan kata-kata yang dibuat-buat. Untuk apa? Kata-kata itu busuk, kata-kata yang menyusun kalimat berjajar panjang dan mengandung makna yang sial. Sudahlah aku tidak mau mengingatnya. Jadi aku bakar surat itu dan mencoba memikirkan hal untuk ku kirimkan kepada mu, Via.

Aku mengingat mentari di atas pantai belakang rumah—kenangan kita. Mungkin jika aku kirimkan mentari dengan pantai biru ini, pasti kamu akan senang. Aku mengharapkan itu, senyumu. Walau kamu mungkin tidak sempat membacanya, paling tidak saat kamu malas-malasan di belakang rumahmu dengan secangkir coklat panas dan selimut putih berbordir angsa dengan pantai di sana. Apakah di belakang rumahmu ada mentari abadi dengan laut biru dan pasir putih seperti pantai di belakang rumahku? Benarkah ada? Pasti pantai di belakang rumahmu memang benar-benar pantai, mentari yang putih kekuningan menyengat kulit.

Jadi aku kirim saja mentari dengan laut biru yang ada di belakang rumah kepada mu agar kelak saat kamu menerimanya bisa menikmati mentari di sana sambil menikmati mentari kirimanku.

Aku gambar mentari itu lengkap dengan pohon kelapa yang menggantungkan buahnya, dengan bintik awan menjamur di cakrawala biru menyatu dengan biru laut yang timbul dengan karang dan ikan didalamnya. Aku menghabiskan seribu tahun untuk menyelesaikannya, gambar mentari di atas kertas agar ku kirimkan kepadamu. Maaf aku tak bisa menyebutkannya satu persatu. Aku harap mentari di atas kertas ini bisa membuatmu tersenyum.

Via yang manis, yang selalu manis, dan pasti terus selalu manis.

Surat ini aku lipat membentuk perahu dan mengapung di atas air yang akan terhembus angin sampai menghilang. Semoga angin, laut, ikan dan Tuhan dapat menyampaikan perasaan ini lewat surat dengan senyum, cium, dan peluk hangatmu di tepi pantai. Via yang senyum abadi di ujung mentari.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini