(مسح الخفين)
( فتح القريب ص 7)
فصل- والمسح على الخفين جائز في الوضوء لا في غسل فرض أو نفل، ولا في إزالة نجاسة، فلو أجنب أو دميت رجله، فأراد المسح بدلاً عن غسل الرجل لم يجز، بل لا بد من الغسل وأشعر قوله جائز أن غسل الرجلين أفضل من المسح، وإنما يجوز مسح الخفين لا أحدهما فقط، إلا أن يكون فاقد الأخرى (بثلاثة شرائط أن يبتدىء) أي الشخص (لبسهما بعد كمال الطهارة) فلو غسل رجلاً وألبسها خفها، ثم فعل بالأخرى كذلك، لم يكف ولو ابتدأ لبسهما بعد كمال الطهارة، ثم أحدث قبل وصول الرجل قدم الخف لم يجز المسح (وأن يكونا) أي الخفان (ساترين لمحل غسل الفرض من القدمين) بكعبيهما فلو كانا دون الكعبين كالمداس، لم يكف المسح عليهما، والمراد بالساتر هنا الحائل لا مانع الرؤية، وأن يكون الستر من جوانب الخفين لا من أعلاهما (وأن يكونا مما يمكن تتابع الشيء عليهما) لتردد مسافر في حوائجه من حط وترحال، ويؤخذ من كلام المصنف كونهما قويين بحيث يمنعان نفود الماء، ويشترط أيضاً طهارتهما، ولو لبس خفاً فوق خف لشدة البرد مثلاً، فإن كان الأعلى صالحاً للمسح دون الأسفل صح المسح على الأعلى، وإن كان الأسفل صالحاً للمسح دون الأعلى، فمسح الأسفل صح أو الأعلى فوصل البلل للأسفل صح إن قصد الأسفل أو قصدهما معاً، لا إن قصد الأعلى فقط، وإن لم يقصد واحداً منهما، بل قصد المسح في الجملة أجزأ في الأصح (ويمسح المقيم يوماً وليلة و) يمسح (المسافر ثلاثة أيام بلياليهن) المتصلة بها سواء تقدمت أو تأخرت (وابتداء المدة) تحسب (من حين يحدث) أي من انقضاء الحدث الكائن (بعد) تمام (لبس الخفين) لا من ابتداء الحدث و لا من وقت المسح، ولا من ابتداء اللبس والعاصي بالسفر والهائم يمسحان مسح مقيم، ودائم الحدث إذا أحدث بعد لبس الخف حدثاً آخر مع حدثه الدائم قبل أن يصلي به فرضاً يمسح، ويستبيح ما كان يستبيحه لو بقي طهره الذي لبس عليه خفه، وهو فرض ونوافل، فلو صلى بطهره فرضاً قبل أن تحدث مسح، واستباح نوافل فقط،(فإن مسح) الشخص (في الحضر ثم سافر أو مسح في السفر ثم أقام) قبل مضي يوم وليلة (أتم مسح مقيم) والواجب في مسح الخف ما يطلق عليه اسم المسح إذا كان على ظاهر الخف، ولا يجزىء المسح على باطنه، ولا على عقب الخف، ولا على حرفه ولا أسفله والسنة في مسحه أن يكون خطوطاً بأن يفرج الماسح بين أصابعه ولا يضمها (ويبطل المسح) على الخفين (بثلاثة أشياء بخلعهما) أو خلع أحدهما أو انخلاعه أو خروج الخف عن صلاحية المسح كتخرقه (وانقضاء المدة) وفي بعض النسخ مدة المسح من يوم وليلة لمقيم وثلاثة أيام بلياليها لمسافر (و) بعروض (ما يوجب الغسل) كجنابة أو حيض أو نفاس للابس الخف.
Pasal : {Mengusap dua muzah diperbolehkan} dalam hal wudhu, tidak dalam hal mandi wajib atau mandi sunah dan tidak dalam menghilangkan najis. Jika seseorang junub dan kakinya berdarah, lalu dia ingin mengusap (muzah) sebagai ganti dari membasuh kaki, maka pengusapan itu tidak cukup, bahkan wajib untuk mandi. Ucapan Mushonif memberi pemahaman bahwa membasuh kedua kaki lebih utama dibandingkan mengusapnya. Sesungguhnya kebolehan mengusap hanya pada kedua muzah bukan salah satunya kecuali bagi orang yang memiliki satu kaki {dengan tiga syarat} yaitu:
1. seseorang memulai memakai muzah tersebut setelah sempurna sucinya}. Jika seseorang membasuh satu kaki kemudian memakai muzah yang satu kemudian melakukan hal tersebut pada kaki yang lain sebagaimana hal tadi maka hal tersebut tidak mencukupi. Jika seseorang memulai memakai muzah setelah sempura sucinya kemudian hadats sebelum sampainya kaki pada telapak muzah, maka pengusapannya tidak mencukupi.
2. Dan kedua muzah tersebut menutup tempat basuhan wajib dari kedua telapak kaki beserta dua mata kakinya}. Jika kedua muzahnya tidak sampai menutupi kedua mata kaki seperti sepatu (al-madas) maka pengusapannya tidak mencukupi. Yang dikehendaki dengan lafadz as-satir pada pembahasan ini adalah penghalang air, bukan yang menghalangi pandangan. Dan adanya satir tersebut berada disamping kanan-kiri dari muzah tersebut, bukan dari atasnya.
3. Kedua muzah tersebut memungkinkan untuk dibuat berjalan secara terus-menerus} karena kebutuhan orang yang bepergian seperti turun dan perjalanan. Diambil dari perkataan Mushonif, bahwa syarat dari kedua muzah adalah harus kuat sekiranya bisa mencegah tembusnya air. Disyaratkan juga sucinya kedua muzah tersebut. Jika seseorang memakai muzah pada muzah yang lain karena sangat dingin, umpamanya. Jika muzah yang bagian atas baik keadaannya untuk diusap bukan muzah yang bawah, maka sah mengusap muzah yang atas. Jika muzah yang bawah baik keadaanya, bukan muzah yang bagian atas, maka sah mengusap pada muzah yang bagian bawah atau pada muzah yang bagian atas lalu sampailah basahan air pada muzah yang bawah, maka sah pengusapannya jika orang tersebut menyengaja untuk mengusap muzah bagian bawah atau mengusap keduanya (atas dan bawah), tidak sah menyegaja mengusap bagian atas saja. Dan jika orang tersebut tidak menyengaja mengusap salah satunya akan tetapi menyegaja mengusap secara umum, maka hal itu sudah mencukupi menurut qoul ashoh. Orang yang mukim mengusap muzah dalam waktu sehari semalam dan orang yang bepergian mengusap muzah pada waktu tiga hari tiga malam, baik malamnya lebih dulu harinya atau malamnya lebih akhir dari harinya. Permulaan masa pengusapan muzah dihitung mulai dari seseorang hadats, yaitu akhirnya masa hadats yang wujud setelah sempurnanya memakai kedua muzah, tidak dimulai dari waktu hadats, tidak dimulai dari waktunya pengusapan dan juga tidak dari waktunya pemakain muzah. Orang yang bepergian untuk melakukan maksiat (al-Ashi bis safar) dan orang yang bepergian tanpa adanya tujuan (al-Ha’im) mengusap muzah sebagaimana waktu pengusapan bagi orang yang muqim. Orang yang daimul hadats (hadats terus-menerus) ketika dia hadats setelah memakai muzah sebab hadats yang lain beserta hadtsnya yang terus-menerus yang terjadi sebelum dia melakukan sholat fardhu dengan muzah tersebut, maka dia boleh mengusapnya dan niat (istibahah) untuk boleh melakukan sholat, yaitu sholat fardhu dan sunah selagi sucinya orang yang daimul hadats pada saat memakai kedua muzah tersebut itu masih ada. Jika orang yang daimul hadats melakukan sholat fardhu dalam keadaan masih suci, maka dia boleh mengusap muzah dan niat untuk boleh melakukan sholat-sholat sunah saja. Jika seseorang melakukan pengusapan pada saat tidak melakukan perjalan kemudian dia melakukan perjalanan, atau seseorang tersebut melakukan perjalanan kemudian dia bermukim sebelum habis masanya waktu sehari semalam, maka dia menyempurnakan pengusapannya seperti pengusapan orang yang mukim. Yang wajib pada pengusapan muzah adalah sesuatu yang dikatakan sebagai pengusapan. ketika pengusapan itu ada pada bagian luar muzah. Tidak mencukupi mengusap pada bagian dalam muzah, tidak pada bagian tungkai muzah, tidak pada bagian pinggir dari muzah dan tidak mencukupi juga menguspa pada bagian bawah muzah. Dan yang sunah dalam mengusap muzah adalah mengusap pada garis-garisnya dengan gambaran seorang yang mengusap muzah membenggangkan jari-jarinya dan tidak boleh menggenggamkannya. {pengusapan pada muzah menjadi batal dengan adanya tiga perkara, 1. Sebab melepas kedua muzah tersebut} atau melepas salah satunya, terlepasnya muzah atau keluarnya muzah dari kelayakan untuk diusap seperti bedahnya muzah tersebut {2. Sebab habisnya masa mengusap muzah}. Didalam sebagian naskah kitab yang lain dengan lafadz مدة المسح (masa muzah) yaitu dari waktu sehari semalam bagi orang mukim dan tiga hari tiga malam bagi orang yang bepergian {3. Sebab munculnya perkara yang mewajibkan mandi) seperti jinabat, haidh atau nifas bagi orang yang memakai muzah.
PERTANYAAN DARI FAN NAHWU DAN SHOROF
- Pertanyaan
Bagaimana pembacaan yang tepat pada lafadz لم يجز (Lam yajuz) atau (Lam Yujzi) ?
- Jawaban
Pembacaan yang tepat pada lafadz tersebut, sebenarnya bisa dibaca keduanya, akan tetapi yang lebih tepat pada lafadz yang ada dalam ibarat adalah (Lam Yujzi) sebab jika dengan menggunakan lafadz lam yujzi (tidak mencukupi) sudah pasti mencakup tidak boleh (lam yajuz) tidak sebaliknya. Terlebih lagi yang dimaksud pada pembahasan ini adalah tidak adanya kecukupan.
Marji’ dan Ibarat
(جامع الدروس العربية للغلايينى – ج 1 / ص 229)
(حاشية الباجوري ج 1 / ص 161)
- Pertanyaan
lafadz معا kedudukanya menjadi apa ?
- Jawaban
Kedudukannya lafadz معا sebagai hal yang shohibul halnya berupa isim dhomir هما. Lafadznya sebenarnya berasal dari dhorof yang ghoiru mutashorif yang wajib idhofah, dan terkadang tidak diidhofahkan, yang kedudukannya menurut kebanyakan Ulama’ Nahwu sebagai Hal, dengan menggunakan ta’wilan lafadz جميعا .
Marji’ dan Ibarat
(حاشية الصبان على شرح الأشمونى لألفية ابن مالك – ج 1 / ص 1071)
- Pertanyaan :
Jelaskan tentang lafadz فقط ?
- Jawaban
Mempunyai dua wajah,
- Yang pertama menggunakan makna lafadz حسب “cukup” yang merupakan isim mabni sukun contoh: قَطْ زَيْدٍ حَنَانٌ. “قَطْ” berkedudukan sebagai mubtada’ yang mabni sukun pada mahal rafa’ dan juga menjadi mudhof “زَيْدٍ” sebagai mudhof ilaih, “حَنَانٌ” menjadi khobar. Hukumnya wajib idhofah ketika lafadz setelahnya berupa dhomir mutakallim yang kemadukan nun wiqoyah “قَطْنِي” atau tidak kemasukan nun wiqoyah, seperti contoh: قَطْنِى كَلِمَةُ شُكْرٍ atau قَطِي كَلِمَةُ شُكْرٍ, “قَطِي” menjadi mubtada’ mabni sukun, diberi harakat kasroh karena mencegah dari bertemunya dua sukun, juga berkedudukan sebagai mudhof “والياء”, mahal jer sebab idhofah. “كَلِمَةُ” sebagai khobarnya mubtada’. Dan terkadang terdapat tambahan fa’ “الفاء” sebagai penghias lafadz maka diucapkan “فَقَطْ” seakan-akan dia menjadi jawab dari syarat yang terbuang.
- Yang kedua, menjadi isim fiil yang mabni sukun dengan menggunakan makna lafadz يكفي “mencukupi”. Contoh: قَطْ خَلِيْلٍ زُهْرَةٌ. “قَطْ”, isim fiil bermakna يكفي yang mabni sukun dan juga berkedudukan sebagi mudhof. “خَلِيْلٍ” sebagai mudhof ilaih yang dijerkan dengan alamat kasroh. “زُهْرَةٌ”, ialah fail dari lafadz “قَطْ”. Hukumnya wajib idhofah dan tetap mabni sukun. Ketika lafdaz “قَطْ” diidhofahkan, maka wajib dipisah antara lafadznya dengan ya’ mutakallim dengan nun wiqoyah. Seperti ucapan: قَطْنِي زُهْرَةٌ. “قَطْ” isim fiil dengan makna يكفي yang mabni sukun yang juga sebagai mudhof. “والنون” sebagai nun wiqoyah. “والياء” dhomir muttashil mabni sukun, yang mempunyai mahal jer sebab idhofah. “زُهْرَةٌ”, fail dari lafadz “قَطْ”.
Marji’ dan Ibarat
المعجم المفصل في النحو العرابي (ج 2 / ص 796) دار الكتب العلمية قَطْ:
PERTANYAAN DARI FAN FIQIH
- Pertanyaan:
Apa pengertian dari Khuf ?
- Jawaban:
Khuf adalah alas kaki yang menutupi seluruh bagian telapak kaki sampai kedua mata kaki, yang terbuat dari kulit. Untuk yang terbuat dari bahan selain kulit biasa disebut jaurob(جورب). Jaurob adalah alas kaki yang terbuat dari selain kulit seperti bulu, kapas, dan sejenisnya.
Marji’ dan Ibarat
(الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي – ج 1 / ص 65)
(الموسوعة الفقهية الكويتية – ج 1 / ص 13839)
- Pertanyaan :
Apakah diperbolehkan memakai khuf pada selain musim dingin?
- Jawaban :
Perlu diketahui rukhsoh dari pemakaian khuf bukan disebabkan karena musimnya, karena ilatnya diperbolehkan mengusap khuf sebab adanya hajat dan untuk memudahkan orang-orang muslim. Yang dipermasalahkan dalam ibarat tersebut adalah cabang masalah dari pemakaian khuf diatas khuf yang juga disebut al-jurmuq.
Marji’ dan Ibarat
(الفقه الإسلامي وأدلته – ج 1 / ص 368)
(فتح القريب المجيب لابن قاسم الغزي – ج 1 / ص 15)
(فتح الوهاب – ج 1 / ص 32)
- Pertanyaan :
Apa Maksud dari lafadz الساتر pada pembahasan khuf ini?
- Jawaban
Yang dimaksud ialah penghalang masuknya air dari arah kanan dan kiri dari muzah pada bagian yang wajib dibasuh (telapak kaki dan kedua mata kaki) dalam artian juga mencakup bawahnya muzah. Bukan penghalang dari bagian atas muzah, bukan penghalang dari pandangan dan juga bukan penghalang aurat seperti dalam bab sholat.
Marji’ dan Ibarat
(فتح القريب المجيب لابن قاسم الغزي – ج 1 / ص 15)
(حاشية الباجوري ج 1 / ص 161)