Oleh Mukani*
Seolah tidak berhenti dari pemberitaan, dunia pesantren kembali menjadi buah bibir. Sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah menjelma menjadi kekuatan tersendiri dalam memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa. Tidak cuma di bidang pendidikan, pesantren juga terbukti berperan strategis dalam membangun bangsa di bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Masalah Utama
Jurgen Habermas mengindikasikan bahwa masa modern telah terbukti diawali dari titik tolak penggunaan iptek yang teraktualisasikan pada masa pencerahan kembali (enlightenment), dengan kebangunan kembali (renaissance) dan aufklarung sebagai ujung tombaknya. Modernisasi juga telah meletakkan sikap individualisme sebagai pusat dunia dengan menekankan kehidupan manusia sebagai sentral dari realitas (anthropocentris).
Dalam menganalisis peradaban dunia modern, Samuel P. Huntington menulis bahwa kebudayaan merupakan sebuah representasi dari wilayah yang lebih sempit dan karena itu bervariasi menurut tempatnya. Barat akan tetap menjadi Barat dan Timur akan tetap menjadi Timur, sekalipun perubahan memang sedang terjadi pasca Perang Dingin. Yang mencolok pada pandangan Huntington adalah bahwa perubahan itu bergeser bukan kepada konflik ideologi, militer, politik ataupun ekonomi, namun beralih kepada unsur peradaban (the clash of civilization).
Kegagalan peradaban dialog yang hendak dibangun ini melahirkan ketidaksenangan terhadap peradaban lain secara dikotomis. Artinya, interpretasi terhadap doktrin agama tertentu yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan peradaban, ternyata dilakukan secara sporadis untuk sekedar menjustifikasi tekstualitas dalam memahami doktrin agama. Sehingga, dialog peradaban yang terjadi diasumsikan hanya satu arah, meskipun dalam bentuk rekasi negatif dalam bingkai terorisme.
Terlebih, mayoritas para orientalis juga mengasumsikan bahwa eksistensi pesantren di Indonesia diidentikkan dengan lembaga madrasah di Afghanistan, yang memang didirikan untuk menghasilkan para mujahid militan dalam melakukan peperangan itu.
Kemandirian
Dalam kondisi yang “disudutkan” seperti ini, pesantren harus mampu membalik kembali opini publik tentang dirinya. Meski bukan pekerjaan mudah, namun setidaknya pesantren memiliki track record yang menjanjikan dalam menjawab tantangan jaman.
Langkah kongkrit pertama dan utama yang harus dilakukan pesantren adalah dengan melakukan sterilisasi kehidupan pesantren dari politik. Harus diakui, di negeri ini, kehidupan politik tidak ubahnya hutan rimba yang tidak memiliki pola tetap. Tentu, hal ini sangat bertolak belakang dengan dunia pesantren yang sangat mengutamakan berpikiran positif (husnudzan). Jika upaya ini tidak dilakukan, pesantren hanya akan terus menjadi “ajang permainan” bagi elit politik yang sudah tidak sabar untuk meraih kekuasaan itu.
Pada aspek peningkatan kualitas pendidik (ustadz) yang dimiliki, pesantren harus memulainya dari sekarang. Terlebih, political will dari pemerintah sudah tidak perlu diragukan lagi untuk terus memperhatikan pendidikan keagamaan di pesantren. Untuk ustadz yang belum sarjana, saat ini sudah terdapat program beasiswa S-1 dan S-2, baik di fakultas umum maupun fakultas keagamaan. Dengan mengenyam pendidikan tinggi ini, diharapkan membuka cakrawala berpikir para santri terhadap wawasan intelektual, sehingga tidak mudah terjebak kepada interpretasi eksklusif-fundamental yang dikembangkan para teroris terhadap doktrin Islam.
Kultur pesantren, yang selama ini dikesankan sebagai lingkungan yang kotor, harus mulai bertahap dikikis habis, agar kasus suspect flu babi ini tidak terulang lagi. Di sisi lain, pendirian pos kesehatan pesantren (poskestren) sudah harus segera direalisasikan di setiap pesantren.
Sedangkan untuk mewujudkan kemandirian pesantren dalam bidang ekonomi, harus dikembangkan sistem berbasis kerakyatan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan santri, seperti pendirian koperasi pondok pesantren (kopontren). Jika pesantren memiliki independensi dalam manajemen keuangan dan tidak tergantung kepada “bantuan mengikat” dari para elit politik, dapat dipastikan bahwa kyai pesantren tidak harus mengikuti ajakan berpolitik hanya demi kepentingan pragmatis-hedonis itu.
Dengan upaya-upaya itu, kontribusi pesantren dalam menjaga kearifan lokal secara eksis bisa bertahan. Di lingkungan sekitar, pesantren juga mampu berperan sebagai pengembangan masyarakat (social development). Tidak sekedar dalam dunia pendidikan, namun juga menghasilkan pemimpin berkarakter melalui proses pendidikan yang bermutu.
Studi Kasus
Salah satu peran strategis pesantren bagi bangsa Indonesia dan penjagaan terhadap kearifan lokal adalah pembuatan film berjudul Sang Kyai. Film produksi Rapi Film ini mengangkat cerita sosok pejuang asli Jombang yang menjadi inspirator terhadap meletusnya Perang 10 Nopember 1945 di Surabaya. Pendiri organisasi NU, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, tidak lain adalah pendiri Pesantren Tebuireng yang sekarang memiliki ribuan santri.
Secara gradual, diangkatnya sosok Kyai Hasyim dalam sebuah cerita film menjadi kemajuan tersendiri. Kakek mantan presiden Gus Dur ini tidak hanya diakui sebagai tokoh agama Islam tradisional. Tapi juga tokoh pergerakan yang menginginkan Indonesia merdeka sejak dulu.
Kyai Hasyim adalah sosok inisiator Resolusi Jihad yang dicetuskan NU pada 22 Oktober 1945. Dalam film itu, Resolusi Jihad adalah jawaban NU yang dimotori Kyai Hasyim terhadap pertanyaan Bung Karno tentang hukum orang Islam yang berjuang demi bangsanya, bukan karena Tuhannya. Bertempat di Jalan Bubutan Surabaya, para kyai NU memutuskan bahwa umat Islam dalam radius 60 kilometer dari Surabaya dihukumi wajib ‘ain untuk mengangkat senjata melawan penjajah. Jika gugur di medan perang, dihukumi mati syahid.
Fatwa ini terbukti ampuh untuk memobilisasi umat Islam di Surabaya dan sekitarnya. Bahkan, dalam film Sang Kyai dilukiskan, para santri dari Jombang berbondong-bondong memenuhi panggilan jihad fi sabilillah ini. Terutama dari laskar Hizbullah dan Sabilillah. Kedua barisan pejuang ini dibentuk NU untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tidak berselang lama, meletus Perang Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 yang sangat heroik itu.
Ini dilukiskan secara jelas oleh Lathiful Khuluq, alumni McGill University Kanada, dalam artikel berjudul KH. Hasyim Asy’ari’s Contribution to Indonesia Independence. Tulisan ini berupaya mendeskripsikan kontribusi Kyai Hasyim dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama setelah mengeluarkan fatwa politik tentang Resolusi Jihad. Artikel ini juga dipandang sebagai lembaran penting dari sejarah revolusi fisik Indonesia yang jarang sekali mencantumkan keterlibatan ulama’ dan tokoh agama.
Sedangkan menurut Howard Federspiel, tokoh kaum orientalis dari Kanada, Kyai Hasyim bukan merupakan sosok ulama yang menolak perubahan, tetapi, agaknya, sebagai sesorang yang tertarik kepada perubahan, meskipun hanya di dalam sistem tradisional Islam sendiri. Bahkan dianggap sebagai waly dalam khazanah Islam tradisional.
Film yang berdurasi 135 menit ini sudah selayaknya dinikmati kaum muda di negeri ini. Setidaknya sudah ada film bernuansa nasionalisme religius di tengah gempuran film tidak bermtu yang hanya menyuguhkan roman picisan dan aksi kekerasan. Nilai-nilai karakter pun akan didapat dengan mudah dari fim ini. Mulai patriotisme, nasionalisme, kejujuran, keikhlasan, religius, konsistensi sampai advokasi kepada kaum tertindas.
Film Sang Kyai setidaknya adalah “pengingat sejarah” bahwa masih banyak nama pahlawan yang belum tertulis dalam sejarah bangsa ini. Meski sebenarnya hal itu tidaklah begitu penting. Karena, sebagaimana pernyataan Kyai Hasyim yang dikutip untuk closing statement dalam film itu, setiap orang yang berjuang bagi bangsa hakikatnya adalah pahlawan. Tidak peduli namanya telah ditulis dalam buku sejarah atau belum.*
*Mukani, guru di SMAN 1 Jombang, alumni PP. Salafiyah Syafi’iyah Seblak Jombang dan penulis buku Pergulatan Ideologis Pendidikan Islam (2012).