Beranda Berita Perih si kecil Novel

Perih si kecil Novel

122
0

Malam gelap menyelimuti ruangan tamu, mata tidak bisa menembus gelap pekat. Lilin kecil mulai mengusir kegelapan, cahayanya begitu bergoyang dan berirama di sudut ruangan. Hanya novel dan ayahnya yang asyik bermain bayangan, bentuk mulai berbeda-beda. Ada yang berbentuk gajah, kuda, pohon, dan bentuk hewan maupun bangunan lain. Novel ingin sekali mendengarkan Dongeng dari ayahnya, terkadang dia yang mengomel minta dongeng, tapi sering ayahnya yang mengajak Novel untuk mendengarkan ceritanya. Ruang tamu, dapur dan ruang lain begitu gelap pekat. Hanya ada satu ruang diselimuti cahaya remang, pojok kamar terdapat tumpukan boneka beruang warna merah muda, juga pojok ranjang tidur sebelah kanan terimpit meja belajar yang terbuat dari kayu. Dua orang menduduki ranjang dengan selimut dikaki, sang ayah membawa lilin dan diletakkan di atas meja. Novel duduk di samping ayahnya membawa dongeng seukuran kurang lebih legan orang berbentuk kotak.

“ayah, aku mau ayah cerita dongeng ini, ayah?” sembari meletakan buku dongeng di pangkuan ayahnya, tersenyum manis.

“loh, kemarin sudah dengar cerita ini, apakah tuan putri mau mendengarkannya lagi?” ayahnya mengambil buku itu “bersiap untuk mendengarkan cerita.”

“Ye…” Novel menepuk tangan dengan riang.

Angin mulai menggebu-gebu diterjang angin yang keluar dari ventilasi. Angin menendang anak rambut Novel, dia merapikan rambutnya sambil loncat kecil dalam posisi duduk. “ayah ayo mulai, aku enggak sabar. Ayah!” senyum manis dilemparkan ke ayahnya.

“baiklah, ayah akan mulai” mengangkat buku dongeng di pangkuan mereka, membentang dari ujung kanan ranjang sampai kiri ranjang. Satu lembar mulai dibalik, terpapar judul cerita. “Dongeng, Kesatria Wanita Nusaibah binti Ka’ab”

Di padang pasir sahara yang dihembus lautan angin, sang raja hitam dengan gagah mengembangkan dada. Satu dua ular kobra dan kalajengking tengah beradu kesaktian, pasir terumbang-ambing gesitnya pertarungan. Jurus ampuh mulai menembak, racun dan bisa kian melumpuhkan yang lain. Mereka saling mengobar kesaktian, lama pertarungan hingga mereka berdua tewas.

Di tengah sengitnya kekuatan besar di penjuru padang pasir, seorang wanita tangguh pembela jalan Allah, sahabat Rasulullah. Si bilah pedang Islam, dia Nusaibah. Panglima perang bangsa hawa yang setia di samping Rasulullah, berjuang mati-matian disisi Nabi sebagai pedang dan tameng jika nabi terancam. Keberaniannya melebihi segala kekuatan yang ada, tatapan tajam bagai elang, cengkeraman kokoh bagai harimau padang. Satu keberaniannya setara dengan sepuluh ribu orang laki-laki.

Sesekali ayah novel melompati halaman yang ada. Novel kebingungan, mengapa ayah tidak menceritakan bagian halaman yang terlewati. Belum sempat bertanya, ayahnya melanjutkan cerita lebih dulu. Dia memulai dikala Nusaibah melindungi Rasulullah saat terimpit dari kepungan orang Quraisy. Novel mulai tablo mendengarkan cerita dari sang ayah.

Saat terik matahari menyengat tubuh para sahabat Rasulullah, debu mulai mengepul di udara, batu kecil juga mengambang kesa kemari. Suara adu pedang membelah udara, suara kerumunan orang diujung penghulu kematian, teriakan mereka menyebut Tuhannya yang Maha Kuasa, memohon pertolongan dari kekejian musuh mereka.

“Rasulullah terimpit, Rasulullah terimpit, Allahu Akbar.” Satu orang sahabat memberitahu temannya, Nabi diambang kematian.

“Ya Allah Ar-Rahman. Apakah ini kematian yang akan menjeputku atau kematian yang menjemput orang Quraisy. Aku hanya melihat di sebelah kiri ada sahabatku yang berjuang mati-matian melindungiku, dia mengayunkan pedang menghalangi musuhku mendekatiku. Sebelah kanan juga aku melihat orang yang sama, dia mengayunkan pedang melindungiku. Dialah Nusaibah.”

Saat nabi terdesak tidak bisa berkutik sama sekali, begitu juga para sahabat. Nusaibah binti Ka’ab berjuang mati-matian membela Rasulullah. Sang pendekar kaum hawa itu menendang balik keadaan, sebisa mungkin Nusaibah menolong Nabi dengan caranya sendiri.

Di akhir dongeng. Nusaibah digambarkan, seorang wanita memakai jubah putih berkibar diterpa angin, menunggangi Bourok yang kilat. Bourok digambarkan seekor kuda putih bersayap di punggung.

“seorang putri sepertimu tidak boleh lengah terhadap segala masalah, kuatlah seperti Nusaibah, yang berani walaupun hidupnya di ujung maut. Bahkan dia diakui sebagai kesatria wanita yang setara dengan sepuluh ribu pendekar” begitu ayahnya memberi amanat kepada Novel, saat lenggang beberapa saat, mata Novel berkaca-kaca, dia mengagumi keberanian dan kegagahan seorang perempuan sahabat Rasulullah.

Tapi, Novel mengerti apa maksud dari ayah. Seolah-olah, Nusaibah sahabat Rasulullah adalah Novel sendiri. Kehidupannya berantakan, ayah dan ibu selalu bertikai. Masalahnya dari ayah, yang selalu berjudi, mabuk, membawa wanita lain. Namun dia selalu berpesan kepada Novel untuk menjadi wanita tangguh seperti Nusaibah, dia menginginkan Novel agar tangguh dan kuat walau diambang konflik keluarga. Jangan tiru kami, apalagi kelakuan kami Nak!. Namun, anggaplah kami selalu di sampingmu, menyayangimu dan terus mendoakan kamu agar kelak menjadi orang yang kuat seperti orang tua harapkan. Begitulah kata hati ayah, melemparkan senyum lebarnya kepada Novel. Novel membalas senyum manis, walau dihatinya mengerti jika ayah tidak mau anaknya hancur dalam kekacauan keluarga.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini